Model pencegahan kejahatan sebenarnya
memiliki berbagai macam bentuk sesuai dengan karakteristik yang
digunakannya. Dalam Kriminologi sendiri, setidaknya terdapat tiga macam
model pencegahan kejahatan, yaitu Situational Crime Prevention, Social Crime Prevention, dan Community Crime Prevention. Masing-masing model pencegahan kejahatan ini memiliki asumsi tersendiri mengenai tindakan kejahatan. Pada model Situational Crime Prevention, latar belakang pemikirannya adalah gagasan teori dari Cohen dan Felson, yaitu Routine Activities Theory. Teori
ini menjelaskan adanya tiga faktor, yaitu pelanggar yang termotivasi,
target yang sesuai, dan kurangnya penjagaan yang memadai sebagai hal
yang menyebabkan terjadinya kejahatan yang dihubungkan dengan pertemuan
secara waktu dan tempat. Namun teori ini lebih menjelaskan kejahatan
secara kontak langsung. Pada konsep mengenai pelaku kejahatan,
diasumsikan bahwa pelaku kejahatan akan selalu ada dan hadir dalam
segala tempat. Namun konsep ini sesungguhnya dikritik karena apakah
benar asumsi tersebut diambil dari teori kejahatan atau hanya sekedar
common sense belaka. Pada konsep target yang sesuai, terdapat aspek
nilai yang berasal dari target, aspek keterlihatan (pencahayaan dan
suara), aspek aksesibilitas yang juga berasal dari korban, dan aspek
mobilitas. Dan pada aspek kekurangan pada penjagaan yang memadai
dipengaruhi oleh beberapa aspek juga, seperti kekuatan dalam penjaga,
perlindungan kepolisian, kontrol sosial secara informal, dan waktu yang
digunakan.
Pada model Social Crime Prevention
sendiri memiliki karakteristik pada pencarian akar-akar dari penyebab
kejahatan. Asumsi dasar dari model ini adalah adanya seseorang yang
melakukan kejahatan yang disebabkan oleh adanya aspek-aspek secara
mendasar yang berasal dari kehidupan sosialnya sendiri untuk melakukan
kejuga disebabkan adanya kejahatan. Pada pencegahan kejahatan dengan
model ini juga mampu untuk menganalisis kejahatan yang ditimbulkan
akibat dari struktur masyarakat. Di dalam struktur masyarakat sendiri
terjadi berbagai macam bentuk dari ketimpangan, seperti pembagian klas
sosial, ketimpangan antar klas sosial, dan bahkan adanya tekanan yang
berasal dari struktur sosial masyarakat tersebut. Berbagai macam bentuk
ini yang memunculkan terjadinya kejahatan di dalam masyarakat. Pada
model ini lebih menitikberatkan kepada pembenahan masyarakat yang
berasal dari strata bawah (klas sosial bawah). Sehingga model Social Crime Prevention
ini lebih melakukan pembenahan kepada permasalahan yang terjadi di
dalam struktur sosial, seperti memberikan kompensasi seperti pembukaan
lapangan pekerjaan khususnya bagi perusahaan-perusahaan tertentu yang
sedang menanam modalnya di suatu daerah. Atau dalam hal yang lain, model
pencegahan kejahatan ini dapat juga memberikan tugas-tugas yang lebih
komprehensif dalam area masyarakat yang luas.
Sedangkan pada model Community Crime Prevention
sendiri lebih mengutamakan pendekatan kepada masyarakat dimana
memberikan focus terhadap perbaikan kapasitas kekuatan masyarakat dalam
hal penanggulangan kejahatan dengan pengembangan kontrol sosial secara
informal. Secara lebih lengkap, konsep mengenai kontrol sosial ini dalam
sosiologi digunakan untuk menggambarkan proses-proses yang menghasilkan
dan melestarikan keteraturan dalam kehidupan sosial. Sedangkan dalam
bidang kriminologi sendiri, konsep ini lebih mengacu pada administrasi
reaksi pada penyimpangan yang dilakukan oleh lembaga penegakan hukum dan
oleh masyarakat secara informal (Hancock dan Matthews: 2001).
Khusus mengenai kontrol sosial secara
informal sendiri, penggunaan tataran perilaku maupun moral yang baik
merupakan landasan terpenting untuk mengembangkan kontrol sosial di
dalam masyarakat, sebab menurut Ross dan Sumner sendiri perilaku maupun
moral merupakan landasan awal dalam pengembangan pola keteraturan
sosial. Hal tersebut sesungguhnya berpijak dari konsepsi yang
dikembangkan oleh Thomas Hobbes yang mengemukakan bahwa manusia
merupakan makhluk yang selalu bersifat merusak dan juga anti sosial,
yang dapat dikendalikan melalui penerapan sanksi dan kontrol oleh
kelompoknya sendiri (Bellair: 2000).
Penggunaan kontrol sosial secara informal inilah oleh Community Crime Prevention
dikenal sebuah konsep yang dinamakan Community Policing. Community
Policing merupakan suatu upaya kolaborasi antara polisi dan komunitas
untuk mengidentifikasi masalah-masalah kejahatan dan ketidak-tertiban
dan untuk mengembangkan tindakan kepolisian. Community Policing
atau yang disebut dengan Pemolisian Komunitas justru merupakan suatu
strategi secara organisasional yang membawa kepolisian beserta penduduk
dalam komunitas untuk bekerja bersama secara erat dalam sebuah cara baru
untuk menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, ketakutan terhadap
kejahatan, ketidaktertiban fisik dan sosial, dan pembusukan lingkungan
ketetanggaan. Pada Community Policing sendiri terdapat setidaknya dua macam ciri utama, yaitu:
- kegiatan kepolisian yang berbasis kemasyarakatan dapat diartikan sebagai penataan kembali kegiatan polisi secara intern yang lebih di arahkan pada wawasan kemasyarakatan.
- kegiatan kepolisian yang berbasis kemasyarakatan diartikan sebagai kegiatan polisi yang aktif mendorong adanya peran serta masyarakat dan hubungan baik antara polisi dengan masyarakat.
Pada ciri yang kedua tersebut merupakan
suatu cerminan bahwa setiap masyarakat memiliki upaya yang sama dengan
kepolisian dalam melakukan usaha atas penanggulangan kejahatan. Dalam
hal ini dikenal suatu program yang dinamakan Neighborhood Watch Program
atau yang dikenal dengan Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling).
Siskamling sendiri dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat yang
terorganisir akan dapat mendorong reaksi kolektif terhadap kejahatan.
Adapun tujuan dari Siskamling sendiri adalah untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang masalah kejahatan, mendidik masyarakat
untuk mengambil langkah-langkah yang lebih efektif untuk mengamankan
rumah dan kendaraannya, mendorong masyarakat untuk segera melaporkan
kepada polisi apabila melihat kejadian-kejadian yang mencurigakan, dan
juga untuk meningkatkan hubungan antara kepolisian dengan masyarakat.
Partisipasi sosial secara aktif dari
masyarakat sendiri memiliki artian yang sangat penting dalam rangka
pemenuhan program ini sebab masyarakat dapat meningkatkan kemampuan
dirinya sendiri untuk menciptakan model penanganan kejahatan ataupun
pengendalian sosialnya sendiri tanpa perlu adanya intervensi dari
kepolisian dimana hal tersebut menumbuhkan tanggung jawab secara mandiri
terhadap kepemilikan harta benda maupun hal lainnya. Sebab masyarakat
yang memiliki kemandirian secara efektif dapat menciptakan suatu pola
keteraturan sosial yang dinamis serta dapat mereduksi potensi kegagalan
maupun permasalahan ke depannya tanpa perlu bantuan dari pihak lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar