/* Kotak Banner ===================== */ #Box-Banner-ads { margin: 0px; padding: 5px; text-align: center; } #Box-Banner-ads img { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px outset #c0c0c0; } #Box-Banner-ads img:hover { margin: 0px 8px 4px 0px; padding: 3px; text-align: center; border: 3px inset #333; } PPK Sibolga Selatan

Minggu, 14 Juli 2013

SISTEM KEAMANAN LINGKUNGAN SEBAGAI SALAH SATU MODEL NEIGHBORHOOD WATCH PROGRAM

Model pencegahan kejahatan sebenarnya memiliki berbagai macam bentuk sesuai dengan karakteristik yang digunakannya. Dalam Kriminologi sendiri, setidaknya terdapat tiga macam model pencegahan kejahatan, yaitu Situational Crime Prevention, Social Crime Prevention, dan Community Crime Prevention. Masing-masing model pencegahan kejahatan ini memiliki asumsi tersendiri mengenai tindakan kejahatan. Pada model Situational Crime Prevention, latar belakang pemikirannya adalah gagasan teori dari Cohen dan Felson, yaitu Routine Activities Theory. Teori ini menjelaskan adanya tiga faktor, yaitu pelanggar yang termotivasi, target yang sesuai, dan kurangnya penjagaan yang memadai sebagai hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan yang dihubungkan dengan pertemuan secara waktu dan tempat. Namun teori ini lebih menjelaskan kejahatan secara kontak langsung. Pada konsep mengenai pelaku kejahatan, diasumsikan bahwa pelaku kejahatan akan selalu ada dan hadir dalam segala tempat. Namun konsep ini sesungguhnya dikritik karena apakah benar asumsi tersebut diambil dari teori kejahatan atau hanya sekedar common sense belaka. Pada konsep target yang sesuai, terdapat aspek nilai yang berasal dari target, aspek keterlihatan (pencahayaan dan suara), aspek aksesibilitas yang juga berasal dari korban, dan aspek mobilitas. Dan pada aspek kekurangan pada penjagaan yang memadai dipengaruhi oleh beberapa aspek juga, seperti kekuatan dalam penjaga, perlindungan kepolisian, kontrol sosial secara informal, dan waktu yang digunakan.
Pada model Social Crime Prevention sendiri memiliki karakteristik pada pencarian akar-akar dari penyebab kejahatan. Asumsi dasar dari model ini adalah adanya seseorang yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh adanya aspek-aspek secara mendasar yang berasal dari kehidupan sosialnya sendiri untuk melakukan kejuga disebabkan adanya kejahatan. Pada pencegahan kejahatan dengan model ini juga mampu untuk menganalisis kejahatan yang ditimbulkan akibat dari struktur masyarakat. Di dalam struktur masyarakat sendiri terjadi berbagai macam bentuk dari ketimpangan, seperti pembagian klas sosial, ketimpangan antar klas sosial, dan bahkan adanya tekanan yang berasal dari struktur sosial masyarakat tersebut. Berbagai macam bentuk ini yang memunculkan terjadinya kejahatan di dalam masyarakat. Pada model ini lebih menitikberatkan kepada pembenahan masyarakat yang berasal dari strata bawah (klas sosial bawah). Sehingga model Social Crime Prevention ini lebih melakukan pembenahan kepada permasalahan yang terjadi di dalam struktur sosial, seperti memberikan kompensasi seperti pembukaan lapangan pekerjaan khususnya bagi perusahaan-perusahaan tertentu yang sedang menanam modalnya di suatu daerah. Atau dalam hal yang lain, model pencegahan kejahatan ini dapat juga memberikan tugas-tugas yang lebih komprehensif dalam area masyarakat yang luas.
Sedangkan pada model Community Crime Prevention sendiri lebih mengutamakan pendekatan kepada masyarakat dimana memberikan focus terhadap perbaikan kapasitas kekuatan masyarakat dalam hal penanggulangan kejahatan dengan pengembangan kontrol sosial secara informal. Secara lebih lengkap, konsep mengenai kontrol sosial ini dalam sosiologi digunakan untuk menggambarkan proses-proses yang menghasilkan dan melestarikan keteraturan dalam kehidupan sosial. Sedangkan dalam bidang kriminologi sendiri, konsep ini lebih mengacu pada administrasi reaksi pada penyimpangan yang dilakukan oleh lembaga penegakan hukum dan oleh masyarakat secara informal (Hancock dan Matthews: 2001).
Khusus mengenai kontrol sosial secara informal sendiri, penggunaan tataran perilaku maupun moral yang baik merupakan landasan terpenting untuk mengembangkan kontrol sosial di dalam masyarakat, sebab menurut Ross dan Sumner sendiri perilaku maupun moral merupakan landasan awal dalam pengembangan pola keteraturan sosial. Hal tersebut sesungguhnya berpijak dari konsepsi yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes yang mengemukakan bahwa manusia merupakan makhluk yang selalu bersifat merusak dan juga anti sosial, yang dapat dikendalikan melalui penerapan sanksi dan kontrol oleh kelompoknya sendiri (Bellair: 2000).
Penggunaan kontrol sosial secara informal inilah oleh Community Crime Prevention dikenal sebuah konsep yang dinamakan Community Policing. Community Policing merupakan suatu upaya kolaborasi antara polisi dan komunitas untuk mengidentifikasi masalah-masalah kejahatan dan ketidak-tertiban dan untuk mengembangkan tindakan kepolisian. Community Policing atau yang disebut dengan Pemolisian Komunitas justru merupakan suatu strategi secara organisasional yang membawa kepolisian beserta penduduk dalam komunitas untuk bekerja bersama secara erat dalam sebuah cara baru untuk menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, ketakutan terhadap kejahatan, ketidaktertiban fisik dan sosial, dan pembusukan lingkungan ketetanggaan. Pada Community Policing sendiri terdapat setidaknya dua macam ciri utama, yaitu:
  1. kegiatan kepolisian yang berbasis kemasyarakatan dapat diartikan sebagai penataan kembali kegiatan polisi secara intern yang lebih di arahkan pada wawasan kemasyarakatan.
  2. kegiatan kepolisian yang berbasis kemasyarakatan diartikan sebagai kegiatan polisi yang aktif mendorong adanya peran serta masyarakat dan hubungan baik antara polisi dengan masyarakat.
Pada ciri yang kedua tersebut merupakan suatu cerminan bahwa setiap masyarakat memiliki upaya yang sama dengan kepolisian dalam melakukan usaha atas penanggulangan kejahatan. Dalam hal ini dikenal suatu program yang dinamakan Neighborhood Watch Program atau yang dikenal dengan Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling). Siskamling sendiri dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat yang terorganisir akan dapat mendorong reaksi kolektif terhadap kejahatan. Adapun tujuan dari Siskamling sendiri adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang masalah kejahatan, mendidik masyarakat untuk mengambil langkah-langkah yang lebih efektif untuk mengamankan rumah dan kendaraannya, mendorong masyarakat untuk segera melaporkan kepada polisi apabila melihat kejadian-kejadian yang mencurigakan, dan juga untuk meningkatkan hubungan antara kepolisian dengan masyarakat.
Partisipasi sosial secara aktif dari masyarakat sendiri memiliki artian yang sangat penting dalam rangka pemenuhan program ini sebab masyarakat dapat meningkatkan kemampuan dirinya sendiri untuk menciptakan model penanganan kejahatan ataupun pengendalian sosialnya sendiri tanpa perlu adanya intervensi dari kepolisian dimana hal tersebut menumbuhkan tanggung jawab secara mandiri terhadap kepemilikan harta benda maupun hal lainnya. Sebab masyarakat yang memiliki kemandirian secara efektif dapat menciptakan suatu pola keteraturan sosial yang dinamis serta dapat mereduksi potensi kegagalan maupun permasalahan ke depannya tanpa perlu bantuan dari pihak lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar