Capacity Building for Neighborhood Organization as Grass-root Government-initiated Organization in the Era of Extended Decentralization
Pendahuluan
Beberapa tahun belakangan peristiwa
sosial seperti isu bom, terorisme, penculikan anak, atau merebaknya
wabah penyakit (lumpuh layu, busung lapar, flu burung dsb), marak
terjadi di Indonesia. Dari peristiwa tersebut, masyarakat sering tidak
mengetahui atau menyadari bahwa hal itu benar-benar telah terjadi di
lingkungan mereka. Masyarakat baru mengetahui setelah peristiwa tersebut
menjadi hot news di media massa baik televisi, koran maupun
majalah. Padahal seharusnya justru lingkungan terdekat yang paling
mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya, dari mulai tetangga, RT/RW
hingga Kelurahan. Fenomena seperti ini jelas sangat tidak menguntungkan
dalam iklim desentralisasi yang menghendaki terjadinya penguatan
kapasitas masyarakat untuk merespon setiap peristiwa dan menentukan
jalan keluar terbaik bagi lingkungannya.
Sayangnya, fenomena seperti itu sulit
terhindarkan. Terjadinya perubahan pergaulan sosial di lingkungan kita
dari semula keakraban, kekeluargaan, saling bertegur sapa bila bertemu,
saling bertanya kabar kini mulai dirasakan berbeda. Sebagian besar
individu khususnya yang tinggal di perkotaan yang memiliki tingkat
kepadatan dan mobilitas tinggi, masyarakatnya cenderung bersifat
individualistis dan menarik diri dari kehidupan bermasyarakat. Kepadatan
membuat orang mencari space yang kosong dan akhirnya tumbuhlah sifat
individualis dan juga orang cenderung menarik diri dari
kegiatan-kegiatan dalam masyarakat seperti rapat RT yang hanya dihadiri
sebagian saja penduduk kampung. Berkurangnya komitmen terhadap kelompok
masyarakat yang lebih luas, meskipun dalam kelompok yang lebih kecil
terjadi sebaliknya. Seperti yang terjadi pada sebagian besar orang-orang
yang tinggal di kota (Gibbs, 1971). Hal ini membawa dampak terjadinya komunikasi yang tidak efektif dimana individu cenderung bersikap semau gue dan pada akhirnya mengakibatkan putusnya komunikasi di lingkungan terdekat.
Untuk mengurangi peristiwa demikian,
pada masa kini banyak kelompok-kelompok sosial atau forum warga dibentuk
oleh masyarakat pada suatu lingkungan tertentu. Forum warga ini
merupakan penguatan institusi warga (neighborhood organization), yang merupakan salah satu elemen civil society
selain LSM, organisasi massa, organisasi profesi, media-massa, lembaga
pendidikan, serta lembaga lain yang tidak termasuk dalam ranah politik (state actors) dan ekonomi (private sector). Keberadaan forum warga menjadi sangat penting dalam konteks perwujudan demokrasi.
Namun, pembentukan kelompok atau organisasi pada tingkat akar rumput (
grassroot organization) ini mesti diimbangi dengan proses pengembangan kapasitas yang memadai, sehingga keberadaannya benar-benar memiliki
dampak horizontal berupa manfaat yang lebih dirasakan anggotanya, maupun
dampak vertikal
berupa dukungan kelompok tersebut kepada struktur pemerintahan yang
lebih tinggi. Dengan demikian, meski secara struktural tidak menjadi
bagian dari pemerintahan, namun peran organisasi akar rumput benar-benar
dapat menyatu dengan tugas pokok pemerintahan di suatu daerah (
embedded autonomy).
[1]
Perubahan Lingkungan Kebijakan
Perubahan kebijakan kepemerintahan di
Indonesia membawa implikasi luas bagi daerah-daerah sampai ke tingkat
desa dan kelurahan, bahkan hingga tataran kehidupan bertetangga. Pada
masa pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 tahun 1979,
pemerintah desa memegang peranan yang hegemonik dan dominatif. Namun
pada tahun 1999, terjadi pergeseran lokus politik dari pusat ke daerah
dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 yang mengharuskan pemerintah
desa membagi perannya dengan kekuatan-kekuatan politik dan/atau
kemasyarakatan lain di desa/kelurahan atau tingkat yang lebih rendah
lagi. Sayangnya, belum lagi mantap pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999,
hadir UU No. 32 Tahun 2004 dengan membawa sedikit semangat
resentralisasi seperti di masa UU No. 5 Tahun 1974 jo. UU No. 5 Tahun
1979.
Perubahan kebijakan sentralisasi
menjadi desentralisasi dan demokratisasi sendiri tidak terlepas dari
tuntutan global dalam pengelolaan kepemerintahan dengan mengedepankan
semangat pemberdayaan dan kemandirian yang ditandai dengan nilai-nilai
keterbukaan, tranparansi dan akuntabilitas. Dalam hal ini, pemerintah
tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam pengelolaan kepemerintahan, namun
harus menyertakan kekuatan-kekuatan sosial politik lain seperti lembaga
politik, masyarakat sipil dan pasar (pelaku dunia usaha). Kerjasama
antara ketiga pilar atau aktor-aktor sosial politik ini diharapkan akan
bisa mewujudkan tata kepemerintahan yang baik, khususnya ditingkat
daerah (good local governance).
Di sisi lain kebijakan yang sering
berubah menuntut pemerintah desa dan/atau kelurahan untuk memahami
pergeseran-pergeseran di level struktural dan internal. Dalam tingkatan
struktural, perlu dibangun pemahaman mengenai perubahan hubungan
kelembagaan di desa/kelurahan sekaligus beberapa kewenangan yang
seharusnya dibagi pada elemen-elemen sosial politik di desa/kelurahan.
Pemerintah desa harus mampu membaca pergeseran yang mengarah pada
otonomi desa dan demokratisasi desa. Dengan kata lain, perlu dilakukan
penataan kelembagaan (institutional arrangement) untuk memperkuat kapasitas lembaga-lembaga sosial politik di tingkat akar rumput (grassroot).
Sedangkan di level internal, perubahan konstelasi kebijakan itu
menyangkut kemampuan individual dari pemerintah desa/kelurahan dalam
mengelola pemerintahan. Tanpa perbaikan pada kapasitas personal ini (personal mastery), maka good governance di tingkat grassroot sulit untuk diwujudkan.
Salah satu unsur kepemerintahan
desa/kelurahan yang jarang disinggung dalam kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan daerah, namun sebenarnya memegang peranan vital adalah RT
dan RW. Bahkan RT/RW sebenarnya merupakan ujung tombak pelayanan pada
warga masyarakat karena kedekatannya dengan para konstituen. Sayangnya,
selama ini RT/RW masih sebatas melaksanakan peran-peran administratif
seperti pencatatan mutasi kependudukan, pembuatan surat-surat keterangan
untuk pembuatan Kartu Tanda Penduduk/KTP atau kepentingan lainnya,
serta pelayanan persuratan lainnya.
Dengan kata lain, keberadaan dan fungsi
RT/RW selama ini cenderung kurang terpikirkan, padahal RT/RW merupakan
salah satu komponen utama dalam konsep community-centered local government.
Selain itu, karena kedekatannya dengan warga, Ketua RT/RW bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas dan strategis seperti
menjaring aspirasi warga, mendeteksi permasalahan sosial secara
dini (misalnya kasus narkoba, gizi buruk dan issu kesehatan lainnya,
bahkan kemungkinan lingkungan RT/RW dijadikan sebagai sarang teroris).
Pada saat yang bersamaan, peran politis sebagai saluran penyampaian
aspirasi warga juga harus diikuti dengan kemampuan RT/RW untuk melakukan
advokasi kebijakan agar aspirasi warga tersebut bisa diakomodasi pada
kebijakan desa / kelurahan atau kebijakan lembaga supra desa /
kelurahan.
Mengingat adanya perkembangan
lingkungan kebijakan yang ada dewasa ini, yang secara langsung berdampak
pada tuntutan perlunya pengembangan peran baru RT/RW yang lebih luas,
maka pengembangan kapasitas (capacity building) bagi aktor-aktor
ditingkat RT/RW dipandang memiliki nilai strategis yang tinggi. Dalam
hal ini, pengembangan kapasitas RT/RW diarahkan pada terbangunnya
kemampuan dan peran baru, misalnya dalam hal Pendataan
anjing/kucing/kera dalam rangka mengantisipasi rabies; Upaya pencegahan
tindak kriminal (termasuk terorisme) dalam lingkup RT; Patroli
ketertiban masyarakat (social patrol); Peningkatan kesadaran dan partisipasi terhadap kebersihan/lingkungan hidup; Public campaign dalam mensukseskan agenda politik seperti Pilkada; Mendorong terbentuknya “knowledgable society” atau “learning society“; Agen pertama dalam proses conflict resolution;
dan sebagainya. Dengan demikian, fungsi RT tidak bersifat tradisional
seperti pencatatan administrasi kependudukan (pindah, lahir/mati,
KTP/KK, dll) atau sebagai agen penjaringan aspirasi (dalam siklus atau
proses rakorbang/musrenbang) semata; tetapi jauh lebih strategis dan
dapat menjadi alternatif Pola Kelembagaan Baru Pemda Otonom. Dan untuk
mendukung fungsi-fungsi baru yang “sangat berat” tadi, maka dapat
diberlakukan pola “competitive grant” bagi RT/RW yang (dinilai)
mampu menyusun (dan menjalankan) dengan baik. Pola ini perlu ditempuh
sebagai pelengkap bagi pola pemberian dana operasional rutin bari RT/RW.
Landasan Teoretik Penguatan Organisasi Akar-Rumput
E.F. Schumacher pernah menulis buku yang sangat terkenal berjudul “Small Is Beautiful: Economics As If People Mattered”
(Blond & Briggs: 1973). Buku ini sebenarnya dimaksudkan untuk
merespon gelombang ekonomi pasar yang disorong oleh kapitalisme global,
namun akhirnya berkembang menjadi sebuah pemahaman umum bahwa segala
sesuatu yang berukuran kecil, justru memiliki kelenturan dan efektivitas
yang lebih tinggi. Demikian pula ketika kita menganalisis manajemen
pemerintahan dari sudut pandang ”kecil itu indah”, maka unit organisasi
yang lebih kecil akan memiliki kelenturan dan efektivitas yang lebih
baik pula, dalam hal ini adalah RT dan RW.
Kita dapat belajar dari pengalaman
beberapa negara maju tentang preferensi untuk membentuk pemerintahan
yang “kecil namun efektif”. Di Amerika misalnya, Bill Clinton sering
mengatakan bahwa the era of big government is over (Clinton Aims, 1996: 258). Dalam paper berjudul The Fate of Big Government in the US,
Mark Peterson (Governance: an International Journal of Policy and
Administration, Vol. 13 No. 2, April 2000, Blackwell) menulis bahwa pada
pertengahan tahun 1990-an, 60% penduduk menyarankan adanya
“pemerintahan yang lebih kecil dengan fungsi yang lebih sedikit”. Mereka
percaya bahwa the best government is the government that governs the least.
Salah satu implikasinya, sistem pemberian tunjangan bagi penduduk usia
60 tahun keatas yang memiliki tanggungan, diganti dengan sistem block grant kepada
negara bagian. Akibatnya, banyak perusahaan swasta yang kemudian
mengajukan proposal untuk melaksanakan program yang baru (privatisasi).
Kajian yang lebih komprehensif untuk membatasi kekuasaan negara terdapat dalam buku berjudul Limiting Leviathan (Donal Racheter dan Richard Wagner, 1999). Dalam salah satu bab disebutkan bahwa abad 20 di Amerika adalah the century of government,
sebagai sindiran atas terus berkembangnya pemerintah, yang dinilai
telah menyalahi prinsip pembentukan negara oleh para pendirinya. Itulah
sebabnya, pemerintah harus dibatasi tidak hanya dengan konstitusi,
tetapi juga dengan cara lain seperti pembatasan hak memungut pajak dan
hak mengeluarkan peraturan.
Dengan landasan konseptual seperti itu,
maka upaya membangun rezim pemerintahan daerah yang efektif namun
demokratis, dapat dimulai dari bawah (
governing from below).
[2]
Menurut Almond (Almond, 1984:152-153), komunitas lokal sangat tepat
dijadikan titik awal karena problem politik dan pemerintahan cenderung
dapat dipahami dalam pengembangan unit pemerintahan yang mengakar.
Almond juga mengungkapkan bahwa demokrasi yang efektif terletak pada
kemampuan individu untuk berpartisipasi ditingkat lokal, karena
disinilah penduduk dapat mengembangkan beberapa kapasitas untuk
menguasai berbagai masalah politik. Unsur kepuasan demokrasi justru
terletak pada keterlibatan penduduk dalam jumlah besar didalam proses
kerja unit pemerintahan berskala kecil, baik dalam hubungannya dengan
pemerintahan lokal, serikat kerja, koperasi atau bentuk aktivitas
lainnya (Bryce,1921:132).
Persoalannya kemudian, situasi politik
ditingkat arus bawah, selain tertinggal karena rendahnya intervensi
program dari pemerintah, dimasa Orde Baru mengalami ketidak-hadiran
partisipasi politik aktif dalam arti sebenarnya (Hikam, 1996). Hal ini
menyebabkan petani, buruh, bahkan kekuatan ditingkat komunitas mengalami
stagnasi akibat pengawasan politik yang sangat represif melalui
pengaturan kerjasama, kooptasi dan mobilisasi yang diorganisir. Begitu
pula halnya dengan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Kedua
institusi ini sulit disebut sebagai neighborhood organization
dalam arti sesungguhnya karena peran konkritnya yang lebih sebagai
perpanjangan kepentingan pemerintah (kelurahan) ketimbang sebagai
penyerap aspirasi masyarakat.
Karena berbagai keterbatasan itulah
forum warga yang dapat didefinisikan sebagai tempat bertemunya seluruh
warga atau unsur-unsur warga disatu lingkungan (komunitas) untuk
membicarakan berbagai hal secara dialogis, terbuka, transparan dan
demokratis guna mengatasi persoalan dan meningkatkan kerjasama antar
warga, termasuk peningkatan manfaat pembangunan, menjadi penting
artinya. Forum warga merupakan upaya revitalisasi neighborhood organization. Forum warga merupakan upaya pemaknaan kembali partisipasi politik arus bawah.
Forum warga bersifat non formal karena
pembentukannya tidak membutuhkan landasan hukum seperti akte pendirian,
AD/ART, dll, namun justru dari forum warga tersebut mampu melahirkan
kekuatan daya dorong luar biasa terutama terkait dengan intervensi
terhadap public policy. Karena itu tak heran jika forum warga dinilai efektif sebagai wadah membangun demokrasi berbasis warga (grass-roots democracy) dengan keunggulan khas melakukan intervensi terhadap local decision making.
Oleh karenanya Pemerintah hendaknya melihat forum warga sebagai sumber dukungan (resources)
efektif bagi penyelesaian berbagai agenda dan masalah pembangunan,
bukan hanya sebagai sebuah organisasi massa yang membebani anggaran.
Forum warga yang difasilitas pembentukannya secara maksimal hingga mampu
bekerja efektif akan memberi kontribusi positif bagi penyelesaian
masalah warga dilingkungan sekitarnya. Disamping itu forum warga turut
berperan sebagai wadah peningkatan kapasitas masyarakat (capacity building) dibidang sosial dan politik.
Sejarah Singkat RT
Sejak jaman dahulu,
masyarakat tradisional Indonesia sebenarnya telah memiliki perkumpulan
warga yang sifatnya mandiri dan terlepas dari struktur pemerintahan
negara. Sesuai dengan kodratnya manusia sebagai makhluk sosial, maka
individu-individu dalam suatu lingkungan tertentu membentuk perkumpulan
yang memudahkan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara jasmani
maupun batiniah. Perkumpulan masyarakat ini memiliki istilah berbeda di
setiap daerah di Indonesia dan belum memiliki kesamaan dalam hal
penataan kependudukan.
Pada jaman penjajahan, terutama saat
pengambilalihan kekuasaan oleh Jepang maka jabatan yang semula
menggunakan bahasa Belanda diganti dengan bahasa Jepang. Misalnya
Resident menjadi Shuchokan, Regent atau Bupati menjadi Kencho, Patih
menjadi Fuku Kencho atau wakil Kencho, Burgemeester menjadi Shicho,
Lurah menjadi Kucho dan carik menjadi Fuku Kucho. Organisasi dibawah
kelurahan dikreasi baru yaitu Asacho dan Kumicho. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 maka
semua hal yang berbau Jepang mulai dijauhi termasuk Asacho dan Kumicho. Namun sewaktu Kapten Ali Murtopo menjabat Kepala Staf Terorial di Divisi Diponegoro, organisasi Asacho dan Kumicho “dihidupkan” lagi dengan nama Rukun Kampung (RK) yang sekarang dikenal dengan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT).
Mengutip Selo Sumarjan dalam artikelnya
”Kolonialisme, Feodalisme, Demokrasi’ sebenarnya di tingkat perdesaan
kita mengenal sistem rukun kampung dan rukun tetangga yang semula
ditetapkan di Yogyakarta pada masa Sultan Hamengku Buwono IX. Sistem
rukun kampung dan rukun tetangga itu semula diadakan di Kota Yogyakarta
saja. Setelah Indonesia merdeka, sistem rukun kampung dan rukun tetangga
itu disebarkan di seluruh Indonesia dan sampai sekarang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan lagi dari pemerintahan kelurahan di kota dan
pemerintahan desa di luar kota (Guntur Subing, Potret Buram Bahasa-Budaya Lampung).
Rukun Warga (RW) adalah pembagian wilayah di
Indonesia di bawah
Dusun atau
Lingkungan.
Rukun Warga bukanlah termasuk pembagian administrasi pemerintahan, dan
pembentukannya adalah melalui musyawarah masyarakat setempat dalam
rangka pelayanan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh
Desa atau
Kelurahan.
Rukun Warga dipimpin oleh Ketua RW yang dipilih oleh warganya. Dewasa
ini banyak pemilihan ketua RW di Indonesia yang dilakukan mirip dengan
Pemilihan Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah, dimana terdapat
kampanye dan pemungutan suara.
Sebuah RW terdiri atas sejumlah
Rukun Tetangga (RT). Berarti RT merupakan pembagian wilayah di
Indonesia di bawah
Rukun Warga.
RT pun tidak termasuk dalam pembagian administrasi pemerintahan.
Pembentukan RT dilakukan melalui musyawarah masyarakat setempat dalam
rangka pelayanan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh
Desa atau
Kelurahan. Rukun Tetangga dipimpin oleh Ketua RT yang dipilih oleh warganya. Sebuah RT terdiri atas sejumlah rumah (kepala keluarga).
Berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa atau Sebutan Lain disebutkan bahwa Rukun Tetangga
selanjutnya disingkat RT atau sebutan lain adalah lembaga yang dibentuk
melalui musyawarah masyarakat setempat dalam rangka pelayanan
pemerintahan dan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Desa dan Kelurahan.
Sedangkan Rukun Warga disingkat RW atau sebutan lain adalah lembaga
yang dibentuk melalui musyawarah pangurus RT di wilayah kerjanya yang
ditetapkan oleh Desa dan Kelurahan.
Pada RT/RW terdapat aturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat untuk menertibkan kehidupan
bersama di lingkungan RT/RW. Dalam aturan tersebut biasanya memuat
kewajiban-kewajiban warga menyangkut kerukunan, keamanan, dan kenyamanan
lingkungan. Aturan-aturan tertulis yang terdapat di RT/RW antara lain:
setiap kepala keluarga wajib memiliki Kartu Keluarga (KK); warga baru
(pendatang) harap melaporkan diri kepada Ketua RT; warga lama yang
pindah wajib melaporkan diri kepada Ketua RT; warga yang telah berumur
17 tahun wajib memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk); tamu yang menginap
wajib melaporkan diri kepada Ketua RT; setiap kepala keluarga wajib
membayar iuran yang telah disepakati (iuran RT, iuran RW, iuran sampah,
pembangunan, dan sebagainya); setiap warga wajib menjaga kerukunan,
keamanan, kebersihan, dan kenyamanan lingkungan.
Di samping itu ada pula aturan yang
tidak tertulis atau biasa disebut norma. Norma yang berlaku di
masyarakat antara lain norma adat/kebiasaan, norma agama, norma
kesopanan, dan norma kesusilaan. Misal bila ada tetangga yang sakit
warga lain menengoknya, tradisi melayat bila ada warga yang meninggal
dunia, serta setiap warga wajib datang pada pertemuan RT. Apabila
anggota masyarakat melanggar salah satu norma tersebut, maka sangsinya
adalah akan dikucilkan atau menjadi bahan pembicaraan orang lain.
Dasar Kebijakan Rukun Tetangga/Rukun Warga
Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga
(RW) pada masa pemerintahan orde baru pernah diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1983. Selanjutnya pada masa reformasi
dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Permendagri Nomor 4 Tahun
1999 tentang pencabutan beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri,
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Instruksi Menteri Dalam Negeri
mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan desa, maka Permendagri Nomor 7 Tahun 1983 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa atau Sebutan Lain, diatur mengenai Rukun Tetangga dan
Rukun Warga atau sebutan lain. Oleh Pemerintah Daerah sebagaimana amanat
Keputusan Presiden No. 49 / 2001 ditetapkan suatu Peraturan Daerah yang
mengatur tentang pedoman pembentukan, tata cara pemilihan pengurus, hak
dan kewajiban, tugas dan fungsi, masa bakti, syarat-syarat menjadi
pengurus, musyawarah anggota, keuangan dan kekayaan RT dan RW atau
sebutan lain, untuk selanjutnya dituangkan dalam Pengaturan Desa.
Untuk kasus Kalimantan Timur, salah
satu Pemerintah Daerah yang dapat dilihat komitmennya dalam
memperhatikan keberadaan RT/RW adalah Pemerintah Kota Tarakan dimana
telah ditetapkan Perda No. 6/2002 tentang Pembentukan Rukun Tetangga dan
Rukun Warga.
RT/RW merupakan organisasi bentukan
masyarakat secara mandiri dalam rangka meningkatkan peranan, pelayanan,
dan kesejahteraan masyarakat. RT/RW merupakan organisasi paling bawah
dan paling dekat dengan masyarakat yang memahami kondisi dan
permasalahan yang dihadapi masyarakat di lingkungannya. RT/RW memiliki
peran yang sangat besar, menentukan dan memiliki arti yang begitu
penting. RT/RW tidak hanya mengemban fungsi-fungsi sosial, tetapi juga
menjalankan serangkaian tugas yang dititipkan oleh Pemerintah, dengan
kata lain membantu kelancaran tugas-tugas Pemerintah. Namun sayang,
perhatian yang diberikan oleh Pemerintah selama ini masih minim karena
yang ada Pemerintah hanya “mengambil manfaat” dari keberadaan RT/RW
tanpa mau mengetahui dan mengerti bagaimana keberadaan RT/RW
sesungguhnya.
Dalam Peraturan Daerah Kota Tarakan
Nomor 06 Tahun 2002 turut dijelaskan pula mengenai tata cara pembentukan
RT/RW dimana Pembentukan RT dimusyawarahkan dan dimufakatkan oleh Lurah
bersama Kepala Keluarga dengan memperhatikan jumlah Kepala Keluarga dan
jangkauan pelayanan di wilayah RT setempat, sedangkan Pembentukan RW
dimusyawarahkan dan dimufakatkan oleh Lurah dengan Pengurus RT setempat.
Hasil dari musyawarah dan mufakat tersebut ditetapkan dengan Keputusan
Lurah yang baru dinyatakan berlaku setelah mendapat pengesahan Camat.
Adapun anggota RT merupakan
penduduk setempat yang terdaftar pada kartu keluarga yang diwakili oleh
Kepala Keluarga, dan anggota RW merupakan RT yang ada di lingkungan
sekitarnya yang diwakili oleh pengurus RT. Dalam Perda Kota Tarakan
Nomor 06 Tahun 2002 Pasal 4 disebutkan bahwa setiap RT terdiri dari
paling banyak 50 (lima puluh) Kepala Keluarga, dan setiap RW terdiri
dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) RT.
Untuk kepengurusan RT/RW dilakukan
melalui suatu pemilihan yang dilaksanakan oleh panitia pemilihan, dimana
pengurus RT tidak dapat merangkap sebagai pengurus RW. Kepengurusan RT
terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan beberapa orang pembantu
sesuai kebutuhan. Sedangkan kepengurusan RW terdiri dari Ketua,
Sekretaris, Bendahara, dan Seksi-Seksi sesuai kebutuhan.
Peranan RT/RW
Perubahan kebijakan kepemerintahan di
Indonesia membawa implikasi luas bagi daerah-daerah sampai ke tingkat
desa dan kelurahan, bahkan hingga tataran kehidupan bertetangga. Pada
masa pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1974 dan UU Nomor 5 Tahun 1979,
pemerintah desa memegang peranan yang hegemonik dan dominatif. Namun
pada tahun 1999, terjadi pergeseran lokus politik dari pusat ke daerah
dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang mengharuskan
pemerintah desa membagi perannya dengan kekuatan-kekuatan politik
dan/atau kemasyarakatan lain di desa/kelurahan atau tingkat yang lebih
rendah lagi. Namun, belum mantap dilaksanakannya UU Nomor 22 Tahun 1999,
hadir UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan membawa sedikit semangat
resentralisasi seperti di masa UU Nomor 5 Tahun 1974 jo. UU Nomor 5
Tahun 1979.
Adanya perubahan kebijakan menuntut
pemerintah desa dan/atau kelurahan untuk memahami pergeseran-pergeseran
di level struktural dan internal. Dalam tingkatan struktural, perlu
dibangun pemahaman mengenai perubahan hubungan kelembagaan di
desa/kelurahan sekaligus beberapa kewenangan yang seharusnya dibagi pada
elemen-elemen sosial politik di desa/kelurahan. Pemerintah desa harus
mampu membaca pergeseran yang mengarah pada otonomi desa dan
demokratisasi desa. Dengan kata lain, perlu dilakukan penataan
kelembagaan (institutional arrangement) untuk memperkuat kapasitas lembaga-lembaga sosial politik di tingkat akar rumput (grassroot).
Sedangkan di level internal, perubahan konstelasi kebijakan itu
menyangkut kemampuan individual dari pemerintah desa/kelurahan dalam
mengelola pemerintahan. Tanpa perbaikan pada kapasitas personal ini (personal mastery), maka good governance di tingkat grassroot sulit untuk diwujudkan.
Salah satu unsur kepemerintahan
desa/kelurahan yang jarang tersentuh dan diperhatikan dalam kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan daerah selama ini namun memegang peranan
vital adalah Ketua (dan pengurus) RT dan RW. Keberadaan RT/RW sangat
diperlukan dalam semua kegiatan kemasyarakatan dan merupakan ujung
tombak pelayanan pada warga masyarakat karena kedekatannya dengan para
konstituen. Fungsi RT/RW di samping melakukan fungsi-fungsi yang
sifatnya pemberian pelayanan pada warga, juga melakukan fungsi
koordinasi dan fungsi fasilitasi pada kegiatan tertentu, misal pada
acara peringatan HUT RI setiap tanggal 17 Agustus.
Dalam sebuah wilayah yang cukup luas
dengan jumlah penduduk cukup padat dan jumlah Rukun Tetangga (RT) yang
dibentuk lebih dari 3 (tiga) RT, maka keberadaan RW menjadi penting dan
dibutuhkan dalam rangka mempercepat akses pelayanan dan efektivitas
pelaksanaan kegiatan kewargaan di wilayah RW tersebut. Sebaliknya, jika
tidak ada keberadaan RW dalam karakteristik wilayah tersebut, akses
masyarakat memperoleh kemudahan pelayanan akan sulit terpenuhi.
Akibatnya warga yang akan mengurus berbagai kepentingan akan langsung
berhubungan dengan kepala lingkungan atau langsung ke kelurahan. Namun
kelemahannya dari segi kelembagaan lingkungan yang dikepalai seorang
kepala lingkungan, pada kenyataannya di lapangan ternyata seorang kepala
lingkungan kurang memiliki peran signifikan dalam pembangunan
kemasyarakatan di wilayahnya.
Akhirnya, karena keberadaan RT/RW
sangat penting dan memiliki kontribusi yang sangat nyata dalam
menyukseskan berbagai program pemerintah, sudah saatnya pemerintah
membuat peraturan yang dapat “menghidupkan kembali” lembaga
kemasyarakatan seperti RT/RW agar berjalan sesuai dengan dinamika sosial
yang ada. Dalam arti, perlu disusun aturan terkait RT/RW yang meliputi
teknis operasional maupun dari segi hukum sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan riil masyarakat.
Tanpa adanya pengantar RT/RW warga
tidak akan bisa memperoleh pelayanan serta mengurus surat yang
diperlukan seperti pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu
Keluarga (KK) baik di Kelurahan maupun instansi lainnya. Berdasarkan
fungsinya, keberadaan RT/RW harus bisa mengkoordinir warga di
lingkungannya, menjembatani hubungan antar warga serta menangani
permasalahan yang dihadapi dalam hubungan tersebut, dan dapat menjadi
contoh yang baik bagi warganya misal dalam kegiatan kerja bakti dimana
pengurus RT/RW turun langsung dan mengajak warganya untuk turut berperan
serta.
Namun sayang keberadaan pengurus RT/RW
selama ini masih sekedar melakukan tugas yang sifatnya tradisional yaitu
masih sebatas melaksanakan peran-peran administratif seperti pencatatan
mutasi kependudukan, pembuatan surat-surat keterangan untuk pembuatan
Kartu Tanda Penduduk/KTP atau kepentingan lainnya, serta pelayanan
persuratan lainnya. Dengan kata lain, keberadaan dan fungsi RT/RW selama
ini cenderung kurang terpikirkan dan tidak dioptimalkan padahal RT/RW
merupakan salah satu komponen utama dalam konsep community-centered local government.
Walaupun demikian, meski selama ini
para ketua RT dan RW bekerja tanpa honor sekalipun, mereka dengan ikhlas
tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Sehingga tanpa ada bantuan
dana dari Pemerintah pun sesungguhnya tidak akan pernah mengganggu
keberadaan RT/RW. Kegiatan RT/RW sudah menjadi budaya kesepakatan warga,
untuk menjalin hidup bersama, menjalin kepentingan bersama, dan
menanggung beban dan risiko bersama.
Selain itu, karena kedekatannya dengan
warga, Ketua RT/RW semestinya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang
lebih luas dan strategis seperti menjaring aspirasi warga, mendeteksi permasalahan
sosial secara dini (misalnya kasus narkoba, flu burung, gizi buruk dan
issu kesehatan lainnya, bahkan ada kemungkinan lingkungan RT/RW
dijadikan sebagai sarang teroris) serta menciptakan iklim yang kondusif
dalam pelaksanaan pemilihan langsung (PEMILU) baik pemilihan kepala
daerah maupun anggota legislatif.
Sehubungan dengan Pemilu, RT/RW juga turut berperan dalam mengatur proses persiapan pemilihan umum bersama-sama dengan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara). Jadi tepat bila dikatakan bahwa RT dan RW adalah ujung tombak di lapangan yang menentukan suksesnya Pemilu. Namun sayang, KPU dan DPR ketika menyusun anggaran Pemilu 2004 mengabaikan peranan RT/RW sebagai ujung tombak Pemilu.
Berdasarkan pengalaman Pemilu Tahun 2004, secara normatif benar KPPS yang menjalankan pemilihan umum di semua TPS (tempat pemungutan suara) dari mencocokkan nama pemilih, mendaftar dan memberikan nomor untuk masuk ke bilik suara, mengumpulkan suara dan menghitungnya. Namun proses pendaftaran pemilih kacau balau, karena KPU menggunakan petugas honorer BPS yang tidak akrab dan tidak mengenal warga sebaik Pengurus RT dan RW. Kenyataannya banyak warga negara calon pemilih tidak terdaftar pada Pemilu Legislatif, karena penugasan pendaftaran diberikan kepada petugas BPS (Biro Pusat Statisitk). Bukan saja belasan juta pemilih yang lolos (pada Pemilu Caleg hanya 141 juta dan Pilpres naik menjadi 157 juta pemilih), karena tidak diserahkan kepada pimpinan RT yang akrab dan mengetahui warganya, namun banyak kesalahan nama dan tempat lahir warga. Pada hari H saat Pemilu dilaksanakan, RT/RW juga menugaskan keamanan lingkungan (Hansip) untuk melakukan penjagaan selama sepekan menjaga keamanan TPS dan lingkungan (Rama Florenza, Sinar Harapan, Agustus 2004).
Pada saat yang bersamaan, peran politis
sebagai saluran penyampaian aspirasi warga juga harus diikuti dengan
kemampuan Ketua RT/RW untuk melakukan advokasi kebijakan agar aspirasi
warga tersebut bisa diakomodasi pada kebijakan desa/kelurahan atau
kebijakan lembaga supra desa/kelurahan.
Sejak maraknya isu bom dan terorisme di
Indonesia, pemerintah mulai memberdayakan kembali peran Rukun Tetangga
(RT) sebagai asosiasi paling dasar yang mengetahui kondisi masyarakat
terdekatnya. Melalui penguatan peran RT, pemerintah mengharapkan agar
setiap RT dapat lebih mengawasi pergerakan manusia yang bermukim di
lingkungannya sehingga sedini mungkin dapat dideteksi kehadiran
orang-orang yang terkait dengan kelompok teroris. Demikian pula dengan
mewabahnya penyakit seperti flu burung, demam berdarah, malaria, dan
sebagainya, RT/RW mulai diberdayakan lagi untuk mendata warganya mulai
dari kronologis penyakit di suatu keluarga, kondisi rumah warga (bersih
atau kotor), fasilitas sampah, hingga pada pendataan hewan peliharaan
yang dimiliki.
Berdasarkan amanat pemerintah tersebut,
masing-masing RT mulai membenahi diri pada tataran operasional. Dalam
pelaksanaannya masing-masing RT terhalang beberapa kendala yaitu
[3] :
1. Administrasi
RT bukanlah bagian dari struktur
pemerintahan sehingga tidak ada rentang komando dan kendali antara
struktur pemerintahan pada tingkat terendah (kelurahan/desa) dengan RT.
Rukun tetangga pada dasarnya dibentuk oleh masyarakat yang hidup pada
suatu lingkungan tertentu dan pengawakannya pun berbasis sukarela.
Hubungan antara aparat struktur pemerintahan pada tingkat terendah
dengannya bukanlah hubungan atasan bawahan, namun lebih pada hubungan
kemitraan. Sebagai konsekuensi, apa yang dikehendaki oleh aparat
pemerintah belum tentu dapat diterapkan begitu saja pada RT. Di samping
itu, tidak ada semacam petunjuk standar pembinaan RT yang diterbitkan
oleh pemerintah untuk menjadi acuan dalam hubungan antara struktur
pemerintahan terendah dan RT.
2. Hukum
RT tidak memiliki kekuatan hukum dalam
bertindak mengawasi warganya kecuali menyangkut wajib lapor 2×24 jam
bagi tamu atau pendatang baru di lingkungan RT tersebut. Jika hal
tersebut tidak dilakukan, RT tidak dapat berbuat apa pun kecuali
melaporkannya kepada aparat keamanan yaitu Polri karena RT sesungguhnya
tidak memiliki aparat keamanan guna mengawasi lingkungannya, yang
memiliki aparat keamanan adalah kelurahan atau desa dan kewenangannya
pun sangat terbatas.
3. Budaya
Di kota-kota besar, lingkungan
pemukiman biasanya bersifat multikultural di mana bermacam orang dari
beragam budaya hidup bersama di suatu lingkungan. Sehingga sudah pasti
setiap RT biasanya merupakan lingkungan yang multikultural pula. Dalam
lingkungan yang multikultural tersebut, pengurus RT dituntut
pemahamannya akan latar belakang budaya yang beragam. Masalahnya adalah
tidak jarang dijumpai bahwa tidak sedikit pengurus RT berasal dari
lingkungan budaya yang berbeda dengan mayoritas warganya.
4. Kualitas sumber daya manusia
Selama ini pekerjaan menjadi pengurus RT/RW merupakan sebuah pekerjaan sosial (social job),
pekerjaan pengabdian yang tidak bisa mengharapkan sesuatu pamrih
darinya. Fakta menunjukkan bahwa kepengurusan RT bersifat sukarela
sehingga tidak jarang yang menjadi pengurus RT adalah warga yang
berminat saja. Oleh karena itu, saat masa jabatan ketua RT/RW berakhir,
sudah menjadi kondisi umum dan menggejala di banyak daerah tentang
“sulitnya mencari pengganti” bukan karena tidak adanya kader yang
memenuhi syarat tetapi lebih dikarenakan personal yang dipandang layak
oleh masyarakatnya justru berkeberatan dengan berbagai alasan untuk
mengemban tugas ini. Akibatnya sering ditemui terjadi suksesi di
kepengurusan RT dari bapak kepada anak.
Yang patut diperhatikan adalah tidak
semua pengurus RT diisi oleh sumber daya manusia yang memadai, bahkan
ada kesan kuat bahwa warga yang sumber daya manusianya tergolong memadai
cenderung tidak ingin duduk di kepengurusan RT dengan alasan yang
sifatnya klasik yaitu karena kesibukan kerja. Dalam kondisi seperti ini,
terlebih lagi pada lingkungan yang multikultural, dapat diprediksi
bahwa tidaklah gampang menata kehidupan di tingkat RT apabila kualitas
sumber daya manusia pengurus RT rendah.
Inilah fenomena sosial yang patut
menjadi perhatian banyak kalangan khususnya pemerintah. Karena meskipun
banyak yang memandang sebelah mata terhadap keberadaan RT/RW, tetapi
sesungguhnya ia memainkan peranan besar dalam pembinaan kehidupan sosial
(social development).
Secara operasional, dengan berbagai
kendala tersebut warga mulai bergerak secara mandiri dan penuh kesadaran
serta kerelaan mengelola kehidupan mereka. Hal seperti yang dilakukan
warga Yogyakarta dapat dijadikan contoh adanya kemandirian warga dalam
rangka mengembangkan kapasitas RT/RW yang ada.
Belajar dari Jogja
Di Yogyakarta, ada sekitar 6 (enam)
kelompok tabungan, yakni Komunitas Gadjah Wong I dan II, Kampung
Iromejan, Kampung Gondolayu, Kampung Kepuh, dan Kampung Brandan.
Kehadiran kelompok tabungan ibu-ibu ini bersama komunitas pembelajaran
yang tumbuh di sejumlah tempat makin menyemarakkan identitas Yogya
sebagai kota pelajar.
Sebagai contoh Kampung Gondolayu yang
disebut ’miskin’ tersembunyi di balik deretan gedung-gedung megah di
Jalan Sudirman, Yogyakarta. Akses menuju kampung itu hanyalah lorong
sempit (kurang dari dua meter) dengan panjang sekitar 300 meter,
terjepit di antara dua bangunan megah. Sisi timur kampung dibatasi oleh
Kali Code yang membelah kota. Kampung ini ternyata tidak seperti image
kampung ’miskin’ biasanya. Kampung ini tertata begitu asri meskipun
banyak rumah berdinding bambu dan bersih jauh dari kesan kumuh. Salah
satu yang menjadi ciri khas kampung ini adalah tanaman yang terdapat
hampir di seluruh pekarangan rumah warga. Tanaman tersebut ada yang
berupa Tanaman Obat Keluarga (TOGA) seperti empon-empon, sere, dan
mahkota dewa, hingga tanaman hias yang lagi ’ngetrend’ dengan harga jual
hingga jutaan rupiah. Sambil berproduksi mereka saling berdiskusi
tentang masalah lingkungan, pertanian organik, dan cara-cara budidaya
tanaman yang lain.
Suasana kampung yang bersih dan asri
itu terwujud karena kepedulian berbagai pihak, dari lingkungan lurah,
ketua rukun wilayah (RW) dan rukun tetangga (RT), serta warga setempat.
Setiap hari Jumat warga turun kerja bakti untuk membersihkan lingkungan.
Papan pengumuman didirikan di tiap RT. Kegiatan ibu-ibu PKK berjalan
baik. Sesekali petugas kesehatan atau polisi datang memberikan
penyuluhan. Dan yang turut memberikan kontribusi adalah kelompok
menabung yang ada di Kampung Gondolayu.
Kelompok tabungan Gondolayu muncul dari
inisiatif ibu-ibu. Beranggotakan 10 ibu rumah tangga sepakat
menyisihkan uang belanja sehari-hari untuk ditabung bersama dan
dipinjamkan bila ada anggota yang membutuhkan. Tiap hari, salah satu
anggota kelompok berkeliling mendatangi seluruh anggota kelompok
mengumpulkan uang tabungan harian. Jumlah yang disetor per hari tidak
seberapa. Setoran selembar uang Rp 500 atau Rp 1.000 pun diterima. Tiap
minggu, uang yang terkumpul antara Rp 75.000 sampai Rp 100.000
disetorkan ke bank.
Dengan terbentuknya kelompok menabung,
warga bisa belajar dan berbagi pengalaman satu sama lain. Dan muncul
berbagai ide untuk menambah wawasan dan penghasilan seperti cara
membudidayakan tanaman yang hasilnya dapat dilihat pada Kampung
Gondolayu, berjualan bihun, membuat rempeyek, membuka warung jus, dan
kegiatan produktif lainnya. Seperti yang dirasakan oleh Ny Elisati (53)
dimana ia merasa terbantu dengan kegiatan kelompok menabung tersebut.
Sejak ditinggal suaminya, Elisati harus memenuhi kebutuhannya sendiri
bersama seorang putrinya. Tidak ada harta tertinggal saat suaminya
meninggal. Elisati membanting tulang menjadi buruh cuci untuk menghidupi
keluarganya. Dari penghasilannya yang pas-pasan, ia masih bisa
menyisikan uangnya untuk menabung dan mulai membuka warung
kecil-kecilan. Dengan modal seadanya ia mulai berjualan sabun, gula,
teh, dan kebutuhan rumah tangga sehari-sehari.
Sepintas lalu memang kelompok menabung
ini terlihat sepele namun dari hal seperti inilah proses pembelajaran
secara berkelanjutan terjadi. Tanpa kurikulum, tanpa buku pelajaran,
tanpa kehadiran seorang guru, warga masyarakat yang dianggap tidak
berpendidikan bisa mencerdaskan dirinya. Dari mengenali masalah yang ada
pada diri mereka sendiri, lingkungan rukun tetangga, warga mulai
mengenal hak-hak sebagai seorang warga negara, berbicara tentang hak-hak
perempuan, dan lainnya. Masyarakat pun kemudian mulai bergerak, membuka
usaha kecil-kecilan, untuk keluar dari kemiskinan yang mengimpit tanpa
harus menunggu uluran tangan dari pemerintah.
Upaya Peningkatan Capacity Building RT/RW
Pengembangan kapasitas
RT/RW sebaiknya dilakukan melalui upaya dini yang sehari-hari melekat
dalam tugas dan fungsi RT/RW yaitu perbaikan manajemen administrasi
RT/RW yang akomodatif serta adanya strategi peningkatan akses sehingga
warga bisa dengan mudah mengetahui dan memperoleh layanan dari RT/RW.
Memang secara struktur organisasi RT/RW
bukan termasuk bagian dari pemerintahan daerah sehingga tidak ada
rentang komando dan kendali antara Kelurahan/Desa dengan RT/RW, tetapi
secara fungsional RT/RW bisa dikategorikan sebagai bagian dari aparatur
pemerintah daerah yang membantu sebagian tugas-tugas pemerintah. Misal
pelayanan administrasi, seperti surat pengantar dari ketua RT/RW untuk
pembuatan kartu penduduk, surat kematian, surat pengantar untuk kelakuan
baik, dsb. merupakan pekerjaan-pekerjaan RT/RW yang sangat membantu
kelancaran administrasi kependudukan dan kejelasan status kependudukan
seseorang. Di samping itu, RT/RW juga membantu pemerintah melakukan
sosialisasi berbagai kebijakan/program pemerintah kepada warganya,
melakukan pertemuan dengan warga untuk membahas berbagai persoalan
seputar ketertiban dan ketenteraman, melakukan kerja bakti bersama untuk
menjaga kebersihan lingkungan, mengumpulkan potensi swadaya masyarakat
untuk pengadaan dana sosial, dan tugas lainnya yang dilakukan RT/RW.
Lebih jauh untuk meningkatkan serta
mengembangkan kapasitas RT/RW dapat diadakan pelatihan peningkatan
pengembangan kapasitas diri. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya
perhatian dari Pemerintah untuk melakukan pelatihan melalui Badan
Pendidikan dan Pelatihan yang dimiliki di masing-masing daerah maupun
dapat dilakukan oleh warga sendiri dengan inisiatif bekerjasama dengan
pihak swasta. Dari survey yang dilakukan oleh Institut Studi Informasi
dan Komunikasi Publik bekerjasama dengan Bappeda Kota Palu (2007),
diperoleh hasil bahwa para ketua RT berharap adanya perbaikan dan
kemajuan untuk mengembangkan kapasitas mereka. Para ketua RT berharap
agar diberikan semacam pelatihan untuk mengetahui tugas pokok dan
fungsinya, diberikan honor tetap bagi ketua RT yang tidak mempunyai
pekerjaan tetap, diberikan insentif bagi RT yang sudah mempunyai
pekerjaan tetap, diberikan atribut identitas, serta perlu diadakan forum
agar semua program lebih mudah disosialisasikan.
Hal yang sebenarnya kecil namun kadang
terlewatkan adalah adanya inisiatif dari para ketua RT/RW dalam
menjalankan program pemerintah seperti sosialisasi maupun pelaksanaan
program yang dicanangkan oleh Pemerintah. Mulai dari memperhatikan kaum
Dhuafa, menjaga kebersihan, gotong royong dalam pembuatan drainase, pos
kamling, pintu gerbang, maupun mengawasi program pemerintah sampai
dengan soal-soal pajak. Disatu sisi ada beberapa hal yang sering
dikonsultasikan atau dibicarakan antara RT dengan warganya yaitu konflik
rumah tangga, persoalan kemiskinan dan sebagainya.
Selanjutnya agar ketua RT/RW memiliki
motivasi membangun lingkungan masing-masing, ketua RT/RW sebaiknya
dilibatkan dalam program-program kerja kelurahan, kecamatan, maupun
kota/kabupaten. Ketua (atau pengurus) RT/RW bila memungkinkan
diikutsertakan dalam melakukan studi banding ke daerah yang sudah maju,
dan Pemerintah hendaknya memberikan penjelasan maupun pemahaman
menyangkut tupoksi bagi ketua RT/RW karena bila dilihat berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2001 tupoksi RT/RW sifatnya hanya
melaksanakan, mengkoordinasikan, dan membantu. Disini tidak terlihat
bahwa RT/RW diperbolehkan untuk mengerjakan suatu hal yang menjadi
keinginan masyarakat setempat secara mandiri.
Adapun beberapa hal yang perlu menjadi perhatian Pemerintah dalam pemberdayaan RT/RW yaitu:
1. Perlu adanya landasan hukum yang memberi kekuatan pada RT/RW dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
2. Untuk jangka panjang perlu
adanya Peraturan Daerah yang mengatur hak dan kewajiban RT/RW. Untuk
saat ini baru beberapa daerah yang telah membuatnya dan sebaiknya hal
ini diikuti oleh daerah lainnya di Indonesia;
3. Dalam memberikan dana bantuan
pada RT/RW, Pemerintah jangan hanya melihat dari besaran nominal tetapi
harus memperhatikan bagaimana RT/RW dapat berperan dalam konteks
kepentingan kebijakan yang dibuat Pemerintah;
4. Perlu dilakukan suatu kegiatan
secara berkala yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas manajemen
RT/RW salah satunya dengan cara pelatihan;
5. Perlu konsistensi dari
pemerintah dalam menetapkan RT/RW sebagai pintu utama dari segala
pengurusan administrasi kependudukan;
6. Perlu dilakukan pelatihan bagi RT/RW untuk mencegah pemalsuan identitas kependudukan;
7. Perlu dilakukan pertemuan
secara berkala antara Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Kelurahan dan
RT/RW yang membahas persoalan-persoalan masyarakat.
Masyarakat berpendidikan sangat penting
untuk mencetak individu-individu berkualitas yang mampu memberikan
kontribusi bagi pertumbuhan negara di masa datang dan melalui RT/RW
dapat diselenggarakan seminar-seminar seperti seminar pendidikan
mengenai isu-isu keterampilan orang tua dalam mendidik anak, seminar
kesehatan, dan sebagainya. Sebagaimana yang dikatakan Wakil Perdana
Menteri Malaysia Entulu bahwa setiap orang harus memiliki tekad untuk
meningkatkan status RT sebagai entitas yang progresif yang dapat
bersaing dengan organisasi non-pemerintah lainnya (LSM).
Selanjutnya untuk menjaga keamanan
lingkungan RT/RW sistem pengamanan lingkungan di tingkat RT/RW perlu
lebih diperketat. Setiap orang yang datang ke suatu daerah pemukiman
harus lapor pada pengurus RT/RW setempat. Jika orang yang datang tidak
mau melapor, warga sekitar bisa ikut melaporkan kedatangan orang itu
kepada pengurus RT/RW setempat. Kegiatan Siskamling Siskamling (patroli
social) yang dulu pernah ada perlu digiatkan kembali. Patroli social
baru bisa berjalan bila warga yang berada dalam suatu lingkungan
melaksanakan patroli secara bergantian pada waktu-waktu tertentu (sesuai
kesepakatan). Akan lebih baik lagi bila program mandiri masyarakat ini
mendapat sambutan baik dari pihak kepolisian dengan turut menyediakan
bantuan aparat keamanan sebagai bagian dari partisipasinya kepada
masyarakat.
Bila siskamling digiatkan kembali
berguna juga untuk program lainnya seperti pendataan terhadap lokasi
kontrakan dan kos-kosan. Data tersebut harus dilaporkan pihak ketua RT
dan RW ke Polsek setempat. Selain pendataan, kegiatan wajib lapor 24 jam
bagi para tamu yang menginap juga bisa diintensifkan kembali serta
pendataan penghuni kos-kosan, pendatang baru setelah lebaran, dan
sebagainya. Kegiatan ini melibatkan Badan Pembina Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) di lingkungan masing-masing.
Masa Depan RT
Saat ini, perkembangan teknologi
informasi semakin pesat. Orang yang berada di pelosok sekalipun jika ada
jaringan listrik dan telepon dapat mengakses perkembangan yang terjadi
di dunia melalui internet. Dengan gampang orang yang tidak punya latar
pendidikan komputer bisa mengelola sebuah situs, banyak
petunjuk-petunjuk yang tersedia di internet, banyak situs/blog gratisan
yang tersedia seperti blogger, wordpress dan lain-lain, dan tidak jarang
situs-situs tersebut sudah menggunakan fasilitas dalam bahasa Indonesia
untuk memudahkan warga Indonesia untuk menjelajahi ”dunia maya”. semua
petunjuk dan layanan ada disana.
Hal ini seharusnya menjadi salah satu
fokus pemerintah. Banyak hal yang bisa dilakukan seperti membuat
kebijakan tentang kemudahan warga untuk bersosialisasi antar penduduk
dengan cara menyediakan internet murah dan terjangkau. Memang
situs-situs resmi pemda telah tersedia, namun fokus beritanya baru pada
tahap internal pemerintah dan beritanya masih terlalu global. Ada juga
situs warga yang mengatasnamakan daerah seperti depok-online, tapi situs
ini masih berada pada level Kabupaten/kota.
Pada level RT/RW, situs-situs sudah
mulai bermunculan seperti situs Griyamelati, dan RT 01 RW 012 Sekata,
sementara itu RT 03 RW 024 Desa Bojonggede sedang membuat sebuah situs
yang berisikan aktifitas warga dan sosial kemasyarakatan. Jika RT online
sudah banyak di Indonesia, Pemerintah dapat banyak kemudahan darinya
seperti
[4] :
1. Pemerintah tidak lagi menerima laporan yang basa-basi (asal bapak senang) dari Pemda.
2. Pemerintah bisa menjadikannya sebagai second opinion terhadap laporan yang disampaikan Pemda.
3. Pemerintah juga bisa melihat bagaimana pelaksanaan di lapangan terhadap kebijakan yang dijalankan.
4. BPS tidak perlu lagi melakukan
sensus secara manual, cukup ambil datanya di situs RT dari format yang
telah disediakan BPS.
5. PLN tidak perlu lagi menugaskan
orang pencatat meteran, cukup ambil datanya di situs RT saja dari
format yang telah disediakan PLN.
6. Polisi dan pihak hukum lainnya
bisa mendapatkan data orang masuk dan keluar dari RT, dan data ini bisa
secara periodik disampaikan ke Desa atau Kecamatan.
Dengan demikian Pemerintah secara
optimal dapat mengontrol kebijakan yang dibuat dan melihat
pelaksanaannya di lapangan secara cepat dan tidak basa-basi atau ABS.
Penutup
Program pengembangan kapasitas RT / RW,
atau organisasi akar rumput lainnya, sudah menjadi kebutuhan yang
mendesak, dan harus dilaksanakan bersama-sama dengan pengembangan
kapasitas pemerintahan daerah.
Pengembangan kapasitas RT/RW sebaiknya
dilakukan melalui perbaikan manajemen administrasi RT/RW yang melekat
pada tugas dan fungsi RT/RW, dan memberikan kemudahan akses sehingga
warga bisa dengan mudah mengetahui dan memperoleh layanan dari RT/RW.
RT/RW juga hendaknya diberi kepercayaan secara penuh oleh Pemerintah
untuk mengelola lingkungannya karena RT/RW yang paling paham dan
mengerti solusi terbaik bagi warganya. Pemerintah dapat melakukan
pendampingan pada RT/RW dengan cara memberikan pelatihan yang diperlukan
RT/RW, yang terkait dengan kependudukan, serta menjadi konsultan bagi
para RT/RW. Dan yang jangan sampai terlupakan adalah dibuatnya aturan
yang memberikan kekuatan hukum bagi RT/RW dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
Pengembangan kapasitas bagi organisasi
di level terendah ini tentu saja harus dilakukan dengan sekuensi dan
agenda jangka panjang yang jelas dan terarah. Untuk tahap awal,
pengembangan kapasitas kepemimpinan lokal di tingkat RT/RW perlu
difokuskan pada dua hal, yaitu: 1) pengembangan kapasitas dalam hal
pengembangan kelembagaan; 2) pengembangan kapasitas dalam pengelolaan
kelompok serta berbagai persoalan teknis yang terkait dengan fungsi
sosial dan fungsi politis Ketua RT/RW. Dalam hal pengembangan
kelembagaan, peran dan fungsi Ketua RT/RW tidak dapat dipisahkan dalam
konteks pemerintah di tingkat lokal (pemerintah desa). Oleh karena itu,
pengembangan kelembagaan ditekankan pada pemahaman mengenai hubungan
kelembagaan dalam tata pemerintahan desa dan prinsip-prinsip tata
pemerintahan desa yang yang baik. Sedangkan pengembangan kapasitas dalam
pengelolaan kelompok dan fungsi sosial dan politis Ketua RT/RW lebih
ditekankan pada peningkatan kemampuan Ketua RT/RW dalam mengelola
konflik, merumuskan perencanaan partisipatif, fasilitasi pelayanan
publik, teknik penjaringan aspirasi masyarakat serta peningkatan
kapasitas RT/RW dalam tugas dan fungsi administratif. Peningkatan
kapasitas tersebut diharapkan akan dapat mengoptimalkan peran dan fungsi
ketua RT/RW dalam proses pembangunan masyarakat yang lebih
partisipatif.
Dengan menjalankan agenda pengembangan
kapasitas bagi RT/RW ini, maka fenomena yang diungkapkan pada awal
tulisan ini dapat diantisipasi sedini mungkin. Selain itu, jika RT / RW
memiliki kapasitas yang memadai, maka kemungkinan keberhasilan program
otonomi daerah akan dapat lebih ditingkatkan. Dengan kata lain,
penguatan kompetensi aparat di tingkat terbawah adalah conditio sine qua non bagi kerangka desentralisasi luas sebagai bagian integral reformasi total di Indonesia.